• Jelajahi

    Copyright © MARI MENYERU
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    pasang

    Subscribe YouTube

    Hebatnya Pena Sang Penyeru

    JEPRI JOKO PRIYONO KLATEN
    Rabu, 12 Oktober 2022, Oktober 12, 2022 WIB Last Updated 2023-03-08T23:19:36Z



    KLATEN(89/jepri) - Dalam saqofah islamiah dikabarkan bahwa pena adalah makluk pertama yang diciptakan Tuhan. Tugas pena   adalah  menuliskan semua kehendak dan sabda-Nya. Semua ketentuan-ketentuan yang telah terjadi dan akan terjadi dituliskan dalam setiap goresan pena yang diciptakan.

    Tuhan menyebut pena itu  ketika wahyu pertama turun kepada Rosulullah Muhammad SAW di gua Hiro. Gua yang terletak 4 km dari Jabal Nur kota Mekah menjadi saksi bisu turunnya wahyu surat Al Alaq sebagai tanda kerosulan Nabi.

    “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia (3), Yang mengajar (manusia) dengan pena (4). Dia mengajarkan apa yang tidak diketahuinya (5).” (QS. Al-‘Alaq: 1-5).

    Makna pena dalam ayat 4 surat Al Alaq seperti ditulis dalam tafsir Ash-Shaghir / Fayiz bin Sayyaf As-Sariih, dimuraja’ah oleh Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-‘Awaji, professor tafsir Universitas Islam Madinah menyebutkan yang mengajar dengan pena dimaknai yang mengajari mencatat dan menulis dengan pena.

    Dari sejarah ini ternyata islam sangat menghargai pekerjaan menulis. Sebegitu pentingnya menulis, sampai-sampai kata pena itu, Allah SWT sebutkan langsung dalam wahyu pertama kerosulan Muhammad SAW.

    Diakui menulis adalah cara paling efektif merawat ilmu. Seperti tradisi para sahabat tempo dulu. Ketika turun wahyu dari langit melalui malaikat Jibril kepada Nabi dan diteruskan kepada seluruh umat, maka kebiasaan untuk merawat daya ingat, para sahabat banyak menuliskan wahyu itu di atas pelepah kurma, daun lontar, bebatuan atau tulang-tulang onta.

    Hal itu disadari karena daya ingat manusia terbatas. Sebanyak 30 juz, 144 surat dan 6.666 ayat adalah makarya suci yang dijaga Allah SWT agar tetap abadi.

    Dalam konteks dakwah masa kini, goresan-goresan pena para penyeru adalah pesan ampuh yang mampu menembus dinding ruang dan waktu.  Bahkan kekuatan ruhiyah tulisan sang penyeru mampu menembus kokohnya benteng hati yang kaku dibungkus kesombongan. Tulisan yang hanif (iman nan teguh)  mampu  mencerahkan mata hati yang buta dan membelalakan telinga yang sebelumnya tuli, seterusnya kembali ke relung hidayah dengan  seizin Allah SWT.

    Ketika banjir informasi dan  berserakan berita sampah saat ini, maka saatnya orang benar dan orang baik itu bersuara lantang menyerukan kebenaran.

    Umat membutuhkan informasi yang sehat. Tulisan yang membangun, mencerahkan, menghidupkan dan memberdayakan umat untuk bergerak kembali kepada Tuhannya dan terus berbuat baik, perlu terus disuarakan.

    Ini  adalah amal jariah yang harus diambil barisan para penyeru di momen dan zaman yang tepat.

    Ada lima alasan mengapa menulis adalah tradisi yang harus diwarisi dari para sahabat bagi generasi masa kini.

    1. Membangun peradaban.

    Tulisan  harus bernilai (kebaikan) didalamnya dan pesan itu memang dibutuhkan umat. Titik temu antara pesan yang ditulis dan kebutuhan umat, harus sama.

    Ketika masyarakat hanyut dan mengikuti seruan kebaikan  dan menjadikan gelombang kebaikan secara berjamaah, maka di situlah peradaban baik itu terbangun.

    2. Jalan dakwah.

    Menyeru di atas mimbar di antara lautan manusia itu lintasan pesan sesaat.  Bisa jadi saat itu jamaah mengingat, tapi esok yang diingat akan lupa tergantikan lintasan pesan yang lain.

    Maka menulis itu menggoreskan pesan yang meninggalkan jejak-jejak digital yang tidak akan pernah usang. Bisa jadi umur penulisnya tidak panjang.  Tapi usia tulisan  bisa lebih panjang dari umur penulisnya, sepanjang  jejak - jejak tulisan itu masih dibaca manusia dan diamalkan.

    3. Merawat ilmu.

    Ilmu adalah  rezeki juga hidayah.  Sangat disayangkan jika nikmat ilmu itu hilang tak terbekas dipangkas kealpaan manusia.

    Maka menulis adalah cara paling efektif merawat ilmu. Ketika menulis ilmu,  bisa jadi daya ingat sang penulis saat itu masih kuat.  Tapi daya ingat  akan luntur seiring waktu dan umur.

    Tapi sepanjang tulisan itu masih ada, maka masih ada sarana  dan kekuatan untuk menaklukan lupa.

    4. Meneguhkan jatidiri,

    Setiap orang  sesungguhnya melukis dirinya sendiri lewat sikap, ucapan dan perbuatannya.  Sikap, ucapan dan perbuatan yang dilakukan berulang dan terus-menerus akan meneguhkan siapa sesungguhnya orang itu.

    Maka ide kebaikan harus terus disuarakan. Ilmu bermanfaat harus disampaikan.  Mereka yang mau menyeru kepada ketauhidan dan amal baik, maka itulah sebaik-baiknya perkataaan (QS Anfusilat ; 33).

    5. Jalan maisyah

    Manusia diperintahkan berjalan bertebaran di muka bumi dan melarang bermalas-malasan berpangku tangan. Tuhanlah yang paling  berkuasa atas rezeki. Tugas manusia adalah berikhtiar keras untuk menjemputnya.

    Atas nama bismillah, ketika pena mulai  digoreskan untuk menyerukan kebaikan, maka ridlo Tuhan semata yang diharapkan.  Namun ketika Tuhan memberikan lebih dengan menurunkan rezeki atas tulisan, maka biarlah hal itu menjadi bukti keridloan  dan bukan tujuan utama.

    Semoga lisan, tulisan, dan tindakan kita, senantiasa sesuai dengan tuntunan Ilahi dan para nabi, aamiin.

    Hanya Allah yang mengetahui kebenaran yang sebenarnya.

    Penulis : Joko Priyono Klaten. 

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini