Tantangan pemerintah dalam menjalankan peran
komunikasi publik di era modern saat ini kian tidak gambang. Masa post – truth ditandai dengan
fenomena banjir informasi menyebabkan kebenaran dan kebohongan seolah bertumpuk
berkelindan. Benar dan salah, asli atau setting-an, serta jujur dan
bohong itu beda tipis. Kadang kebenaran dan kejujuran itu tidak seumur jagung,
berubah cepat menjadi kebohongan dan salah hanya dalam hitungan jam.
Inilah tantangan dan kenyataannya. Kini ketika teknologi memanjakan kemudahan akses
dan menyebar-luaskan informasi hanya dalam satu sentuhan tangan. Maka setiap individu bisa menjadi sumber informasi
melalui media sosial. Ketika orang
bangun tidur masih berselimut sarung, lalu up-date status atau
mengunggah ungkapan hati dengan sebuah ketikan
“semalam aku tidur mimpi digigit ular”, maka saat itu juga ia telah
menjadi sumber informasi.
Di saat yang sama televisi telah mengudara seiring
fajar semburat dengan tayangan berita seperti tak mau kalah. Berita serius
serangan tentara Israel yang bertubi – tubi membombardir Kota Gaza, berselang
penangkapan kasus pejabat penegak hukum yang menyimpan uang milyaran di kolong
tempat tidur, sampai berita kriminal
emak-emak yang viral di tangkapan layar CCTV mengutil susu dan roti buat
anaknya yang lapar. Justeru unggahan “semalam
aku tidur mimpi digigit ular”, itu lebih menarik disimak tetangga, teman
dan kolega ketimbang berita serius yang sering bikin kening mengkerut.
Dalam konteks komunikasi publik, fakta-fakta dinamika
komunikasi di atas menjadi cerminan bahwa fenomena itu jugalah yang saat ini
terjadi dan dialami pemerintah. Ketika media massa tidak lagi jadi penguasa
tunggal informasi, tatkala media sosial kian punya taji mempengaruhi opini
publik, peran pelaku komunikasi atau
pranata humas ditunggu kiprahnya.
Dalam teorinya Everett
M. Rogers mendefinikan komunikasi
sebagai suatu proses di mana sebuah ide
dikirimkan dari sumber satu ke satu penerima atau lebih yang bertujuan untuk
mengubah tingkah laku mereka (Rogers dan Kincaid dalam Cangara, 2004;19).
Sedangkan
Dennis Dijkzeul dan Markus
Moke (2005) mengartikan komunikasi publik sebagai kegiatan
dan strategi komunikasi yang ditujukan kepada khalayak sasaran. Adapun tujuan komunikasi publik adalah untuk
menyediakan informasi kepada khalayak sasaran dan untuk meningkatkan kepedulian
dan mempengaruhi sikap atau perilaku khalayak sasaran.
Fungsi komunikasi publik
inilah yang harus diperankan pelaku pranata humas. Seperti kata Dijkzeul dan
Markus Moke, strategi komunikasi itu meliputi menyediakan informasi atau
konten/pesan alias message, memilih saluran atau channel yang
tepat bagi khalayak sasaran dan mengukur
tingkat keberhasilan dengan menganalisis respon balik atau feedback.
Pranata humas tidak cukup
hanya lihai menulis berita. Pranata
humas tidak cukup menjadi fotografer atau videographer dengan gambar foto dan
video yang wow lalu viral. Ingat ini
zamannya post-truth atau banjir informasi. Media – media yang dikelola
pemerintah harus berkompetisi dengan masyarakat sebagai individu sebagai sumber
informasi (komunikator). Belum lagi
media – media massa mainstream yang juga perlu dilayani dengan rilis –
rilis yang akurat dan menarik.
Inilah tantangannya yang harus
dijawab para pelaku humas. Membuat rilis untuk wartawan, berita website, desain
grafis di media sosial atau video adalah bagian penting peran yang dilakukan secara
terukur dan terencana. Itu pun belum cukup. Kemampuan teknis dan ketrampilan
menulis pranata humas harus terus diasah agar kian tajam, akurat, aktual plus bernas.
Melatih intuisi dalam menulis
berita atau rilis butuh proses. Sebab
tidak ada keahlian dalam menulis, selain menulis itu adalah ketrampilan. Semakin diasah intuisi itu semakin tajam,
semakin dilatih semakin terampil. Namun
ingat ada tiga hambatan komunikasi yang harus dipahami agar pranata humas tidak
blunder dan terjebak pada kesalahan sendiri.
Ada istilah mis – informasi,
yakni informasi yang
keliru, tetapi orang yang menyebarkannya percaya bahwa informasinya itu benar. Menurut
The Debunking Handbook (2020), mis-informasi disebarkan karena kesalahan atau
tanpa maksud untuk menyesatkan. Secara teknis itu benar tetapi
menyesatkan, karena orang tersebut tidak tahu fakta terbarunya atau keliru
menangkap informasi. (KOMPAS, 21/1/22). Maka langkah elementer yang tak
boleh ditinggalkan adalah cek dan ricek sebelum ditayangkan. Ini adalah langkah hati – hati sebagai upaya mitigasi
diri guna antisipasi hal – hal yang harus dihindari.
Ada juga hambatan dis -
informasi adalah informasi yang keliru, dan orang yang menyebarkannya tahu
bahwa itu salah, tetapi tetap nekat dan sengaja menyebarkannya. Dis - informasi
adalah kebohongan yang disengaja dan secara aktif diinformasikan oleh aktor
jahat. (KOMPAS, 21/1/22). Inilah yang dikenal dengan berita bohong atau hoak. Berita hoak harus dikelola dengan baik agar
tidak berpotensi menjadi komunikasi krisis. Seorang pranata humas harus punya
sikap tanggap darurat menyikapi hoak.
Hambatan selanjutnya adalah mis
- komunikasi yakni kesalahan atau ketidakpahaman antara dua atau lebih orang dalam suatu interaksi sosial atau percakapan. Mis –
komunikasi bisa terjadi karena berbagai
alasan, seperti perbedaan bahasa, budaya, persepsi, atau interpretasi (Sosiologi
Komunitas Menyimpang, Suardi, 2018).
Pelaku komunikasi tidak boleh pasang persepsi dan interpretasi dini dalam berinteraksi. Ia harus terbuka menerima
pendapat yang berbeda. Jangan memasang sekat dengan praduga dan prasangka. Sebab hal itu bisa menjadi gangguan –
gangguan alias noice yang menghambat bahkan jadi biang kegagalan dalam berkomunikasi.
Sederhananya adalah berkata
dengan siapa menentukan kita harus berbicara apa.
Penulis Joko Priyono S.Sos M.Si,
Kepala Sub Kordinator Layanan Informasi dan Statistik,
Pranata Humas Ahli Muda
Dinas
Komunikasi dan Informatika Kabupaten Klaten.