• Jelajahi

    Copyright © MARI MENYERU
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    pasang

    Subscribe YouTube

    Tiga Hambatan Bikin Komunikasi Publik Berantakan, Ditulis oleh Joko Priyono

    JEPRI JOKO PRIYONO KLATEN
    Senin, 16 Juni 2025, Juni 16, 2025 WIB Last Updated 2025-06-17T02:17:28Z

                                                                                                                                                           


    Tantangan pemerintah dalam menjalankan peran komunikasi publik di era modern saat ini kian tidak gambang.  Masa post – truth ditandai dengan fenomena banjir informasi menyebabkan kebenaran dan kebohongan seolah bertumpuk berkelindan. Benar dan salah, asli atau setting-an, serta jujur dan bohong itu beda tipis. Kadang kebenaran dan kejujuran itu tidak seumur jagung, berubah cepat menjadi kebohongan dan salah hanya dalam hitungan jam.

     

    Inilah tantangan dan kenyataannya.  Kini ketika teknologi memanjakan kemudahan akses dan menyebar-luaskan informasi hanya dalam satu sentuhan tangan. Maka  setiap individu bisa menjadi sumber informasi melalui media sosial.  Ketika orang bangun tidur masih berselimut sarung, lalu up-date status atau mengunggah ungkapan hati dengan sebuah  ketikan “semalam aku tidur mimpi digigit ular”, maka saat itu juga ia telah menjadi sumber informasi.

     

    Di saat yang sama televisi telah mengudara seiring fajar semburat dengan tayangan berita seperti tak mau kalah. Berita serius serangan tentara Israel yang bertubi – tubi membombardir Kota Gaza, berselang penangkapan kasus pejabat penegak hukum yang menyimpan uang milyaran di kolong tempat tidur, sampai  berita kriminal emak-emak yang viral di tangkapan layar CCTV mengutil susu dan roti buat anaknya yang lapar. Justeru unggahan  “semalam aku tidur mimpi digigit ular”, itu lebih menarik disimak tetangga, teman dan kolega ketimbang berita serius yang sering bikin kening mengkerut.

     

    Dalam konteks komunikasi publik, fakta-fakta dinamika komunikasi di atas menjadi cerminan bahwa fenomena itu jugalah yang saat ini terjadi dan dialami pemerintah. Ketika media massa tidak lagi jadi penguasa tunggal informasi, tatkala media sosial kian punya taji mempengaruhi opini publik, peran pelaku komunikasi atau  pranata humas ditunggu kiprahnya.

     

    Dalam teorinya Everett M. Rogers mendefinikan komunikasi sebagai  suatu proses di mana sebuah ide dikirimkan dari sumber satu ke satu penerima atau lebih yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku mereka (Rogers dan Kincaid dalam Cangara, 2004;19).

     

    Sedangkan Dennis Dijkzeul dan Markus Moke (2005) mengartikan komunikasi publik  sebagai kegiatan dan strategi komunikasi yang ditujukan kepada khalayak sasaran.  Adapun tujuan komunikasi publik adalah untuk menyediakan informasi kepada khalayak sasaran dan untuk meningkatkan kepedulian dan mempengaruhi sikap atau perilaku khalayak sasaran.

     

    Fungsi komunikasi publik inilah yang harus diperankan pelaku pranata humas. Seperti kata Dijkzeul dan Markus Moke, strategi komunikasi itu meliputi menyediakan informasi atau konten/pesan alias message, memilih saluran atau channel yang tepat bagi khalayak sasaran dan  mengukur tingkat keberhasilan dengan menganalisis respon balik atau feedback.

     

    Pranata humas tidak cukup hanya lihai menulis berita.  Pranata humas tidak cukup menjadi fotografer atau videographer dengan gambar foto dan video yang wow lalu viral.  Ingat ini zamannya post-truth atau banjir informasi. Media – media yang dikelola pemerintah harus berkompetisi dengan masyarakat sebagai individu sebagai sumber informasi (komunikator).  Belum lagi media – media massa mainstream yang juga perlu dilayani dengan rilis – rilis yang akurat dan menarik.

     

    Inilah tantangannya yang harus dijawab para pelaku humas. Membuat rilis untuk wartawan, berita website, desain grafis di media sosial atau video adalah bagian penting peran yang dilakukan secara terukur dan terencana. Itu pun belum cukup. Kemampuan teknis dan ketrampilan menulis pranata humas harus terus diasah agar kian tajam, akurat, aktual plus  bernas.

     

    Melatih intuisi dalam menulis berita atau rilis butuh proses.  Sebab tidak ada keahlian dalam menulis, selain menulis itu adalah ketrampilan.  Semakin diasah intuisi itu semakin tajam, semakin dilatih semakin terampil.  Namun ingat ada tiga hambatan komunikasi yang harus dipahami agar pranata humas tidak blunder dan terjebak pada kesalahan sendiri.

     

    Ada istilah mis – informasi, yakni  informasi yang keliru, tetapi orang yang menyebarkannya percaya bahwa informasinya itu benar. Menurut The Debunking Handbook (2020), mis-informasi disebarkan karena kesalahan atau tanpa maksud untuk menyesatkan. Secara teknis itu benar tetapi menyesatkan, karena orang tersebut tidak tahu fakta terbarunya atau keliru menangkap informasi. (KOMPAS, 21/1/22). Maka langkah elementer yang tak boleh ditinggalkan adalah cek dan ricek sebelum ditayangkan.  Ini adalah langkah hati – hati sebagai upaya mitigasi diri guna antisipasi hal – hal yang harus dihindari.

     

    Ada juga hambatan dis - informasi adalah informasi yang keliru, dan orang yang menyebarkannya tahu bahwa itu salah, tetapi tetap nekat dan sengaja menyebarkannya. Dis - informasi adalah kebohongan yang disengaja dan secara aktif diinformasikan oleh aktor jahat. (KOMPAS, 21/1/22). Inilah yang dikenal dengan berita bohong atau hoak.  Berita hoak harus dikelola dengan baik agar tidak berpotensi menjadi komunikasi krisis. Seorang pranata humas harus punya sikap tanggap darurat menyikapi hoak.

     

    Hambatan selanjutnya adalah mis -  komunikasi yakni kesalahan atau ketidakpahaman antara dua atau lebih orang dalam suatu interaksi sosial atau percakapan. Mis – komunikasi  bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti perbedaan bahasa, budaya, persepsi, atau interpretasi (Sosiologi Komunitas Menyimpang, Suardi, 2018).

     

    Pelaku komunikasi tidak boleh pasang persepsi dan interpretasi dini  dalam berinteraksi. Ia harus terbuka menerima pendapat yang berbeda. Jangan memasang sekat dengan praduga dan prasangka.  Sebab hal itu bisa menjadi gangguan – gangguan alias noice yang menghambat bahkan jadi biang kegagalan dalam berkomunikasi.

     

    Sederhananya adalah  berkata dengan siapa menentukan kita harus berbicara apa.

     

    Penulis Joko Priyono S.Sos M.Si,

    Kepala Sub Kordinator Layanan Informasi dan Statistik, Pranata Humas  Ahli Muda

     Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Klaten.

     

     

     



     

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         

     



     

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini